Seminar PROSFISI ISI Surakarta

Seminar PROSFISI : “Kemana Arah & Karakter Pendidikan Tinggi Film di Indonesia”

SOLO, PRODI.FTV.WIDYATAMA.AC.ID – Halo sahabat FTV.  Dalam rangka menyambut dan mengantisipasi tumbuhnya industri film di tanah air, dan dalam rangka mempersiapkan  sumber daya manusia (SDM) yang sesuai dengan kebutuhan industri media massa dan digital, Perkumpulan Program Studi Film & Televisi Indonesia (PROSFISI) pada akhir (25) November lalu, menyelenggarakan seminar bertajuk “Arah dan Karakter Pendidikan Tinggi Film di indonesia”, yang diselenggarakan di kampus Institut Seni Indonesia Surakarta  di kawasan Mojosongo kota Solo. Seminar yang berlangsung satu hari ini, dihadiri anggota PROSFISI yang merupakan perwakilan sejumlah kampus seperti ISI Padang Panjang, ISI Jogjakarta, ISI Denpasar, Institut Kesenian Jakarta, UMN Jakarta, Universitas Telkom Bandung, Universitas Widyatama, Akademi Film Jogja  dan tentu saja tuan rumah ISI Surakarta.

Dalam rangka pembahasan tema tersebut, PROSFISI mengundang sejumlah narasumber yang mewakili pemerintah, kalangan industri, sineas profesional dan pimpinan prodi FTV dari sejumlah kampus, di antaranya  Wikan Sakarinto, ST.,M.Sc.,P.HD  mantan Dirjen Vokasi Kemendikbudristek, Ifa Isfansyah sutradara dan produser film asal Jogja, Rick Soerafani dari rumah produksi Vision Plus dan Dian W. Sasmita dari perusahaan TOT, VIU Indonesia.

Industri OTT Tumbuh Pesat Butuh SDM Berkualitas

Pada sesi pertama seminar PROSFISI, tampil sebagai pembicara Dian W. Sasmita dari VIU Indonesia. Dian mengemukakan bisnis dan industri layanan Over The Top (OTT)  atau layanan media melalui internet di Indonesia sangat menjanjikan. Di Asean ungkap Dian, Indonesia adalah negara pengonsumsi siaran OTT terbesar, di mana penybabnya adalah karena layanan OTT bebas dari pemrograman sebagaimana di media konvesional siaran televisi terestrial. OTT lanjut Dian belakangan berkembang pesat di Indonesia, dengan statistik tahun 2022 menunjukkan satu per tiga orang Indonesia menonton OTT denga total 3,5 juta jam durasi konsumsi per bulan. Lebih lanjut Dian mengilustrasikan data statistik sebagai berikut : Penonton terbesar OTT adalah Gen Z dan kaum Milenial dengan durasi menonton lebih dari empat jam. Selain itu, data statistik juga menunjukkan 27 persen penonton OTT tidak menonton siaran televisi terestrial konvensional.  Dengan melihat perkembangan tersebut, Dian mengungkapkan adanya kebutuhan sdm baru dan muda untuk berkiprah sebagai bagian dari rumah industri film yang menjadi mitra perusahaan OTT seperti VIU Indonesia. Untuk mengisi kebutuhan sdm di industri OTT, Dian lebih lanjut mengemukakan syarat kompetensi yang harus dimiliki lulusan FTV adalah soft skill yaitu kreatif, terampil, komunikasi dan manajemen waktu yang baik, serta kemampuan memahami kebutuhan industri.

Indonesia Butuh Insan Film yg Mumpuni

Pada sesi berikutnya tampil sebagai pembicara Ifa Isfansyah seorang sineas asal Yogyakarta yang memiliki sederet prestasi internasional sebagai sutradara film pendek dan sutradara film Garuda di Dadaku. Ifa mengemukakan hal yang sama dengan Dian bahwa produksi film Indonesia berkembang pesat pada tahun 2022 dari negatif investasi pada tahun 2016 dan sekarang menjadi positif investasi. Bahkan menurut IFA, jumlah penonton film juga meningkat yaitu sebanyak 24 juta penonton menonton film indonesia. Film Indonesia sendiri berhasil meraih pangsa pasar sebesar 61 persen, lebih tinggi dibandingkan film impor. Pada tahun 2019 menurut IFA, tercatat 50 ribu orang menjadi pekerja film lokal dan semakin tumbuh di tahun 2022. Pada tahun itu, Indonesia juga tercatat sebagai pasar film terbesar ke-10 di dunia dengan penghasilan mencapai 500 juta US dollar atau sekitar 7 triliun rupiah. Ifa juga mengilustrasikan pada tahun 2020 tercatat ada 3.423 produksi film dimana film iklan memiliki porsi terbesar yaitu mencapai 51,47 persen. Adapun untuk jumlah film pada tahun tersebut lanjut Ifa, tercatat terdapat 929 judul film serial tv, 289 judul film layar lebar, 206 judul film pendek, 168 judul film dokumenter dan 69 judul film animasi. Sayangnya lanjut Ifa, rasio jumlah penduduk berbanding dengan penyebaran film masih sangat rendah, di mana distribusi film hanya terkonsentrasi di wilayah Jabodetabek. Ironisnya menurut Ifa perkembangan positif di industri film tersebut tidak terimbangi dengan jumlah sdm yang memadai, dan juga kualitas sdm yang masih rendah. Di mata Ifa, dua stakeholder yang paling berperan dan bertanggungjawab untuk melahirkan insan film yang berkualitas dan dapat memenuhi kebutuhan industri adalah pemerintah dan lembaga pendidikan. Khususnya di lembaga pendidikan tinggi film dan televisi ungkap Ifa,  harus dapat melahirkan lulusan yang profesional dan kompeten.

Revisi Kurikulum untuk Penuhi Tuntutan Industri

Pada sesi terakhir, tampil sebagai pembicara seminar PROSFISI Wikan Sakarinto, ST.,M.Sc.,P.Hd mantan Dirjen Pendidikan Vokasi Kemendikbud. Menurut Wikan, pendidikan tinggi baik sarjana maupun vokasi harus dapat mengimbangi dan memenuhi tuntutan dan kebutuhan industri dan dunia usaha melalui model pembelajaran Teaching Factory and Industry, yaitu suatu model pendidikan kolaboratif di mana industri terlibat aktif bersama insitusi pendidikan untuk menghasilkan lulusan yang memiliki softskill yang mumpuni. Pendidikan tinggi ungkap Wikan, seharusnya tidak mengejar ke kemampuan hardskil semata, namun juga diarahkan pada kemampuan softskill yang memadai. Karena lanjut Wikan, keluhan utama pengguna tenaga kerja adalah bukan pada hardskil melainkan pada softskill, yaitu diantaranya lulusan pendidikan tinggi kurang tahan pada tekanan dunia kerja, kurang dapat berkomunikasi lisan dan tulisan dengan baik, kurang dapat bekerjasama dalam sebuah tim dan kurang inisiatif dan mudah bosan. Karena itu lanjut Wikan, perguruan tinggi vokasi khususnya, harus mau menjalankan strategi melakukan revisi kurikulum dengan menerapkan kurikulum MBKM, dimana mahasiswa diberi kebebasan berkegiatan di luar kampus dengan rekognisi mata kuliah hingga 40 sks melalui kegiatan MBKM. *** Reaksi FTV